Pribadi Dulu dan Sekarang

Saat masa SMA, saya dinilai teman-teman dekat saya sebagai seorang yang kaku dan logis. Sulit untuk menjalin pertemanan dengan mudah meskipun mudah terbawa secara emosional. Kekakuan saya itu didukung oleh gelar saya sebagai seorang “miss jutek“. Maka jadilah saya sebagai seorang yang terkesan sulit didekati oleh orang lain.

Kalau dilihat dari tes kepribadian MBTI, saat itu mungkin saya termasuk ke tipe I-S-T-J. Kesannya orangnya kaku sekali, tak berhati, dan pendiam. Memiliki kehidupan sendiri sehingga sulit berinteraksi dengan orang lain. Ditambah saya sangat menyukai mata pelajaran Matematika, kembali semuanya makin runyam. Terlalu pintar rasanya menjadi seorang perempuan yang jago Matematika, begitu pikiran saya.

Hal ini sungguh menyulitkan saya. Teman saya sedikit, banyak di antaranya merasa sungkan untuk menjalin hubungan yang erat. Namun itu bukan berarti saya tidak memiliki teman hanya saja tak ada yang benar-benar terasa akrab hingga kini. Hal ini membuat saya memiliki tekad, nanti saat kuliah saya harus bisa lebih membuka diri dan memiliki lebih banyak teman dekat.

Dengan demikian, dimulailah perjuangan saya untuk mulai berubah. Jika dulu saat SMA saya adalah seorang yang akan menjawab ‘dua’ ketika ditanya berapa hasil dari ‘satu tambah satu’. Setelah mulai berkuliah di jurusan psikologi, saya harus berhadapan dengan kenyataan dengan jawaban ‘tergantung’ untuk setiap pertanyaan, bahkan pertanyaan matematis sekalipun. Lebih lagi, meskipun ada mata kuliah statistika psikologi, tetap saja yang dipelajari adalah teori-teori peluang. Bedanya, ini hanya berbentuk angka saja.

Jujur saya mengalami gegar budaya yang sangat tak biasa. Mengubah kebiasaan berpikir, belajar, dan mengerjakan tugas. Jika selama ini saya kaku dengan pikiran-pikiran saya, saya harus lebih banyak belajar membuka sudut pandang. Karena belajar tentang ilmu perilaku menuntut kita untuk bersikap terbuka mengenai apa sebab-musabab seseorang berperilaku tertentu.

Apalagi yang berubah? Cara saya menjalin pertemanan. Kalau dulu dijuluki ‘miss jutek‘ akhirnya saya tak mendapat julukan itu lagi. Lebih mudah tersenyum dan memiliki banyak teman akrab dibandingkan masa SMA. Teman-teman yang masih menjadi peer hingga saat ini. Sesuatu yang tak saya dapatkan saat masih di bangku SMA.

Jika perubahan itu memang terjadi, mengapa seseorang bisa berubah? Apakah dengan mudah kepribadian bisa berubah?

Sesuai dengan pengertiannya, kepribadian adalah sekumpulan sifat yang bersifat menetap. Tentu seharusnya saya yang di waktu SMA, sama dengan saya yang sekarang. Nyatanya tidak demikian. Ada sedikit perubahan dari diri saya sendiri. Sesuatu yang berubah, sampai-sampai seorang teman SMA saya bertanya kepada suami saya, “Kok bisa berkenalan dan menjalin hubungan dengan saya.” Tentu saja itu pertanyaan konyol. Memangnya segitu susah didekatikah saya semasa SMA, hingga menjadi hal yang luar biasa ketika akhirnya saya menikah dengan seseorang.

Bisa dibilang saya tidak berubah seratus delapan puluh derajat. Saya hanya mengurangi kadar kekakuan saya sekian persen sehingga lebih menyesuaikan diri dengan profesi yang saya jalani. Tetap saja, sifat asli saya akan keluar begitu saya dihadapkan pada situasi-situasi menekan. Karena memang demikian kenyataannya, serapat apapun kita menyembunyikan ‘asli’nya kita maka akan tetap terlihat saat kita sedang berhadapan dengan banyak masalah.

Sebab kepribadian bersifat melekat. Sudah terbentuk semenjak kita masih bayi hingga remaja. Hanya perubahan yang maha dahsyat yang mebuat seseorang dapat berubah. Kalau mengambil istilahnya Maslow, ‘peak experience‘. Kalau kita bereaksi dengan baik saat berhadapan dengan pengalaman puncak itu maka akan muncul perilaku baru yang lebih baik. Sebaliknya, jika yang dipandang negatif maka pengalaman puncak malah memulai bertubinya peristiwa buruk yang kita alami.

Remaja menjadi masa penting kehidupan karena di masa ini terjadi pencarian identitas seseorang, termasuk kepribadian. Kepribadian terbentuk maksimal ketika masa itu. Jikalau gagal terbentuk dengan baik maka kepribadian gagal yang akan terbawa terus. Di sisi lain, kepribadian yang baik akan terus terbawa hingga masa dewasa nantinya. Oleh karena itu, perkembangan kepribadian, terutama di masa SMA menjadi penting dalam kelangsungan masa depan seseorang.

Bagaimanapun kepribadian yang kita miliki, dulu maupun sekarang, tetap ada kemungkinan-kemungkinan untuk berubah. Meskipun kecil dan membutuhkan banyak usaha, setidaknya itu adalah usaha untuk menjadi seorang yang lebih baik. Karena perubahan tak berhenti di satu titik tetapi dinamis terjadi hingga mencapai sebuah ekuilibrium sempurna untuk menunjukkan betapa baiknya diri kita.

Saya yang kini berbeda dengan saya yang dulu. Tetapi rasanya akan tetap sama jika saya dikenal secara apa adanya, dahulu maupun sekarang.

#30DWC #30DWCJilid14 #Day18

Leave a comment